Sunday, September 25, 2011

malam pertama (joke)

Malam pertama. Suami : “huft…..papah lemes nie mah!!”
Istri : “papah sie…semangat bgt maen’a..”
Suami : “tapi goyangan mamah mantab dah..ga ada
duanya!! Hehe”
Istri : “ah…papah bisa ja!!” (sambil ngelus2 anu
s...uami’a) Suami : “eemm…mamah msh pengen ya??”
Istri : “ah..engga ko pah!!”
Suami : “ntu ko elus2..anu papah lg??”(sambil merem-
melek ke’enakan)
Istri : “emm…kangen ja!!”
Suami : “Maksud’a??” Istri : “dulu mamah pernah punya!! Hehe”
Suami : “haaahhhh….????(langsung pingsan)..

pancasila joke just kiddingpancasila joke just kidding

PANCASILA DALAM BAHASA DAERAH
========================


Pancasila (Jawa Ngoko)
siji: Gusti Alllah ora ono koncone
loro: Dadi wong kudu sing adil lan ojo kejem-kejem
telu: Indonesia bersatu kabeh
papat: karo tonggo-tonggo nek ono masalah diomongno bareng-bareng
limo: mangan ga mangan sing penting kumpul Pancasila (Sunda)
hiji: Gusti Allah nu ageng pisan
dua: ka sorangan teh sikapna kudu sami, ulah di beda-beda keun
tilu: Indonesiakuduna mah jadi hiji!
opat: Rakyat Indonesiasaena pang mutuskeun sesuatu teh disepakat keun heula. Biar bager lan
bijaksana lima: Ceunah teh sikap sosialna kudu adil hiji sareng lainna. Pancasila (Batak Toba)
1. Dang adong na pajago-jagohon di jolo ni Debata
2. Maradat tu sude jolma
3. Punguan ni halak Indonesia
4. Marbadai … marbadai, dungi mardame
5. Godang pe habis saotik pe sukkup Poncosilo (jawa kromo)
kaping setunggal: Gusti ingkang Maha satunggal
Kaping kalih: Tiang ingkang Adil lan beradab
kaping tiga: persetunggalan Indonesia
kaping sekawan: Kerakyatan ingkang dipimpin kaliyan hikmat lan kewicaksonoan dateng
permusyawaratan kang diwakilkan. kaping gangsal:Adil kang sosial kangge sakabehe tiyang Indonesia Pancasila (Palembang)
sute: Tuhan ne sute tu’la
due: jelme harus khapat same rate
tige: jelme Indones iane bersatu padu
empat: jeleme Indonesiane diketuci ngai hikmah dimane ngedapatkan jawaban dadi gegale masalah
Leme: kesameratean hidup ne jelmekangok Indonesia.. Pancasila (Ambon)
1. Torang samua tawu cuma ada Tuang Allah yaitu Tete manu.
2. Orang ambon samu harus tau adat
3. acang deng obet harus bisa bakubae
4. Paitua deng maitua harus bae-bae di rumah rakyat
5. samu harus bisa jaga diri karna ambon lapar makan orang. Pancasila (Manado)
1. Cuma boleh ba satu Tuhan
2. Selalu adil kong ja pake ontak
3. Torang samua satu, Bangsa Indonesia
4. Tu rakyat musti slalu bakumpul kong bicara bae2 spy slalu ada kaputusan gagah yg semua trima
deng nang hati. 5. Voor seluruh rakyat Indonesia, nyanda ada tu jabaku kase beda2 perlakuan. Pancasilo (Padang)
ciek: bintang Basagi Limo
duo: rantai pangikek kudo
tigo: pohon baringin gadang ta’mpek kito bacinto
ampek: kapalo banteng bataduk duo
limo: padi jo kapeh pambaluik nan luko **Dari berbagai sumber

Saturday, May 21, 2011

Ibarat di musim hujan benih-benih radikalisme tumbuh
subur di kalangan anak muda. Ini merupakan hasil
penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP)
tentang radikalisme di kalangan pelajar se-Jabodetabek. Parahnya, hampir 50 persen pelajar menyetujui tindakan
radikal atas nama agama. Beberapa pengamat terorisme
dan intelijen melihat reaksi kaum muda tersebut sebagai
benih-benih pemikiran yang bisa mengarah pada
tindakan terorisme. Dalam catatan intelijen Wawan Purwanto menjelaskan,
Pada tahun 2007, dua orang remaja yaitu Isa Anshori
(16) dan Nur Fauzan (19) ditangkap Densus 88 karena
diduga ikut terlibat dalam menyembunyikan Taufik
Kondang, salah seorang anggota jaringan teroris
komplotan Abu Dujana. Tahun 2009 (17 Juli 2009) pelaku bom di JW Marriot
adalah Dani Dwi Permana (18) dan Ritz Charlton Nana
Ikhwan Maulana (28) Tahun 2011 (25 Januari 2011), Arga Wiratama (17), Joko
Lelono, Nugroho Budi, Tri Budi Santoso, Yuda Anggoro.
Roki Apris Dianto dibekuk oleh Densus 88 bersama
ketujuh orang lainnya dalam kasus teror bom di wilayah
Klaten, Sleman, dan Yogyakarta. (detikNews, 28/4) Tinjau PAI
Munculnya pelaku teroris, bom bunuh diri dari kalangan
pelajar, mahasiswa, dan pemuda yang berusia di bawah
30 tahun menunjukan menunjukkan adanya kegagalan
Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam menumbuhkan
sikap kebhinekaan siswa sehingga tingkat persetujuan atas aksi radikal tinggi, mencapai 48,9 persen. (Hasil
survei LaKIP), seperti ditulis M. Bambang pranowo,
Direktur LaKIP, Guru Besar Sosiologi Agama Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat Wilayah Jabodetabek yang menjadi sampelnya. Ihwal
radikalisme dan toleransi muslim terhadap nonmuslim
(Oktober 2010-Januari 2011) dengan responden 590 guru
dari 1.639 guru pendidikan agama Islam dan 993 siswa
(sekolah menengah pertama kelas VIII dan IX serta
sekolah menengah atas semua kelas) dari 611.678 siswa menunjukkan hasil yang membenarkan besarnya
kecenderungan radikal dan intoleran. Dalam kasus radikalisme, misalnya, untuk tingkat
pengenalan dan kesetujuan terhadap organisasi radikal,
rata-rata persentase guru dan siswa masing-masing 66,4
persen dan 26,7 persen (pengenalan) serta 23,6 persen
dan 12,1 persen (kesetujuan). Untuk tingkat pengenalan
dan kesetujuan terhadap tokoh-tokoh radikal, rata-rata persentase guru dan siswa: 69,2 persen dan 26,6 persen
(pengenalan) serta 23,8 persen dan 13,4 persen
(kesetujuan). Dari temuan Lakip itu, jelas sekali guru dan
siswa di Jabodetabek mengenal organisasi dan tokoh
radikal serta sebagian dari mereka menyetujui tindakan
organisasi dan tokoh tersebut. Radikalisme erat kaitannya dengan sikap intoleransi.
Betapa tidak, laporan survei Lakip menunjukan; 62,7
persen guru dan 40,7 persen siswa menolak berdirinya
tempat ibadah non-Islam di lingkungan mereka. Guru
(57,1 persen) dan siswa (36,9 persen) juga menolak
bertoleransi dalam perayaan keagamaan di lingkungan mereka. Lebih jauh lagi, dari hasil survei itu juga
ditemukan fakta yang menarik: 21,1 persen guru dan
25,8 persen siswa menganggap Pancasila tidak lagi
relevan sebagai ideologi negara. Guru dan siswa pun
menganggap persoalan bangsa akan teratasi bila syariat
Islam diterapkan di Indonesia (65 persen). (Koran Tempo, 29/4) Anak Muda Radikal Wajar
Membaca hasil penelitian LaKIP seakan-akan kita
tercengang. Pasalnya, gerakan radikalisme telah
menyusut anak muda muslim. Padahal penelitian serupa
telah dilakukan oleh Martin van Bruinessen, peneliti asal
Belanda dalam tulisan Gerakan Sempalan di Kalangan Umat Islam Indonesia: Latar Belakang Sosio-Budaya Timbulnya pemahaman agama yang radikal di kalangan
anak muda sebetulnya wajar dan sendirinya bukan
sesuatu yang dihawatirkan. Sebuah umat yang hanya
terdiri dari satu ortodoksi yang monolitik mudah
kehilangan dinamika dan semangat hidup. Dalam sejarah
gereja di dunia Barat sekte-sekte radikak sering –telah berfungsi sebagai hati nurani umat, dapat dilihat di
sejarah umat Islam. Gerakan sempalan radikal
mendorong ortodoksi untuk setiap saat memikirkan
kembali relevansi ajaran agama dalam masyarakat
kontemporet dan untuk menjawab atas masalah dan
tantangan baru yang terus timbul. Baru muncul bahaya kalau komunikasi antar ortodoksi
dan gerakan sempalan terputus dan mereka terasingkan
karena kurang pengalaman hidup dan pengetahuan
agama, mereka dengan sangat mudah bisa dimanipulir
dan atau diarahkan kepada kegiatan yang tidak sesuai
dengan kepentingan umat. Sebagai akibat urbanisasi dan moneterisasi ekonomi
banyak ikatan sosial yang tradisional semakin longgar
atau terputus. Dalam desa tradisional, setiap oarang
adalah angggota sebuah komunitas cukup intim dengan
kontrol sosial yang tetat, tetapi juga dengan sistem
perlindungan dan jaminan sosial. Jaringan keluarga yang luas melibatkan setiap individu dalm sebuah sisitem hak
dan kewajiban yang sampai batas tertentu
kesejahteraannya. Pada masyarakat kota modern sebaliknya, setiap orang
berhubungan dengan jauh lebih banyak orang lain,
tetapi hubungan ini sangat dangkal dan tidak
mendorong tanggungjawab yang berarti. Dalam suasan
ini, aliran agama sering bisa memenuhi kekosongan yang
telah terjadi karena menghilangkanya komunitas keluarga besar dan desa. Namun, untuk dapat berfungsi
sebagai komunitas aliran ini mestinya bisa saling
mengenal karena cukup kecil anggotanya. Aspel
komunitas dan solidaritas antara sesama anggota
diperkuat lagi kalau alira ini membedakan diri dengan
tajam dari dunia sekitarnya. (Jurnal Ulumul Quran, Volume III No I Th 1992:25) Menurut Ahmad Syafii Maarif, menuturkan aksi tetorisme
yang melibatkan sekelompok (kalangan muda) amat
kecil muslim harus dibaca dari kacamata
ketidakberdayaan atau keputusasaan dalam
menghadapi realitas dan kekinian yang mereka rasakan
sangat kelam dan menghimpit. (Ahmad Syafii Maarif, 2005:56) Galakan GM3 Berhubung penyemaian benih-benih radikalisme
biasanya dilakukan secara sistematis, halus, dan
tertutup. Aktivitas semacam ini mesti dilawan seluruh
elemen masyarakat, seperti pengajar agama, guru, dan
setiap keluarga. Masyarakatlah yang paling awal tahu
setiap kejanggalan yang muncul di lingkungannya – termasuk yang muncul di kalangan pemuda. Tak perlu
mencari jauh-jauh, benih-benih terorisme itu sangat
mungkin berada di sekitar kita. (Tempo, 19/4) Sejatinya, Program Gerakan Masyarakat Maghrib Mengaji
(GM3) yang digalakan Kementerian Agama perlu
digalakan dan didukung semua kalangan supaya mesjid
tidak menjadi benih-benih islam radikal, seperti hasil
penelitian Center for the Study of Religion and Culture
(CSRC) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, antara tahun 2008-2009 tentang “Pemetaan Ideologi Masjid di DKI Jakarta” dan “Pemetaan Ideologi Masjid di Solo”. Mudah-mudahan ikhtiar Institute for Study of Islam,
Cultural, and Public Affairs (ISRCP-a) Program
Pascasarjana UIN SGD Bandung dalam mewujudkan
masjid sebagai milik “kita” dan di mesjid kita damai terwujud. Semoga. [Ibn Ghifarie]